.
Libido Sexualis (Kelamin), Libido Thronelis (Kekuasaan),
dan Libido Mortails (Membunuh)
oleh Achmad Charris Zubair, purna tugas dosen filsafat UGM, Tinggal di Kota Gede, Yogyakarta.
Tahun 2024 saat pemilihan presiden baru republik ini masih dua tahun. Tapi mulai sekarang sudah ada yang melakukan manuver politik untuk ancang ancang maju ikut pemilihan.
Bahkan sebagian ada yang sudah begitu nampak "bernafsu" untuk mengganti pemerintah yang syah secara konstitusional "sekarang" juga.
Saya ingin mereposting dan reediting status lama saya, tentu tidak ada hubungan langsung dengan kondisi saat ini. Tapi setidaknya bisa jadi "kaca benggala" bagi yang hidup disaat kini.
Peristiwa makar paling "eksotik", bahkan cenderung brutal menurut historiografI sejarah yang populer dan paling dapat menggambarkan "nafsu rendah" dan purba manusia adalah yang dilakukan oleh Ken Arok (1182-1247) terhadap Tunggul Ametung di Kerajaan Kediri. Tentu di sisi lain ada perspektif berbeda, yang menggambarkan bahwa Ken Arok memiliki sisi positif dan memiliki argumen dan alasan yang mendukung atas keputusan tindakannya.
Berlatarbelakang anak terbuang kemudian diasuh oleh keluarga bromocorah ia tumbuh menjadi anak brutal dan memiliki hasrat duniawi yang nyaris tak terkendali. Kemudian setelah itu diasuh oleh seorang pendeta Lohgawe dan diantar menjadi abdi dalem Sang Tunggul Ametung. Walaupun ada kisah lain bahwa Ken Arok memang aslinya berasal dari Kasta Brahmana, yang karena ke"ndugalan"nya harus hidup bersama keluarga bromocorah.
Di istana syahwat seksual dan kuasanya mendadak naik ketika melihat kain Ken Dedes istri Tunggul Ametung tersingkap dan melihat pangkal paha Ken Dedes ber"cahaya". Satu metafora simbolik yang ingin menggambarkan dari rahim Ken Dedes akan lahir raja raja besar. Rahim yang tentu saja akan menjadi magnet laki laki yang ingin menunjukkan kedigdayaannya. Apalagi sebelumnya ia pernah mendengar bumbu ramalan Lohgawe yang mengatakan bahwa dari rahim Ken Dedes akan lahir raja-raja besar "gung binathara".
Kitab Pararaton di sisi lain memang mengisahkan bahwa raja raja Majapahit juga merupakan keturunan Ken Arok dan Ken Dedes. Kisah lain juga ada yang mengisahkan bahwa Ken Dedes sebenarnya adalah tunangan Arok yang kemudian direbut Ametung untuk diperistri. Jadi Arok merebut kembali "hak"nya dari pelukan Tunggul Ametung. Dalam versi ini Tunggul Ametung juga mendengar bahwa rahim Ken Dedes adalah tempat paling subur untuk persemaian benih raja raja. Tentu iapun juga ingin benih air maninyalah yang akan membuahi rahim Ken Dedes yang bertabur "cahaya" itu.
Akhirnya dengan bantuan Mahesa Wong Ateleng ia menghubungi Empu hebat yang bernama Empu Gandring untuk membuatkan senjata keris sakti sebagai sarana melancarkan keinginannya. Bahkan sebelum keris itu jadi sempurna sudah ia minta bahkan dengan cara membunuh Empu Gandring pembuatnya.
Liciknya keris itu terlebih dulu dipinjamkan kepada sosok paling pesolek dan narsis diseluruh Tumapel, Kebo Ijo. Dasar pesolek Kebo Ijo pamer ke mana-mana dengan mengatakan keris itu miliknya.
Pada satu malam jahanam keris itu diambil kembali oleh Ken Arok. Dengan keris itu dibunuhlah Tunggul Ametung yang sedang bersanggama dengan Ken Dedes. Kebo Ijo dihukum mati karena tersangka sebagai pembunuh raja. Ken Arok merebut tahta dan mengawini Ken Dedes yang pangkal pahanya yang ber"cahaya" sudah pernah dilihat dan kini tiba saatnya ia akan menatap dan membuahi rahim perempuan unggul yang sudah merangsang benak syahwat seksual dan syahwat kuasa Ken Arok.
Bahkan ketika itu Ken Dedes pun sebenarnya sedang hamil benih Tunggul Ametung. Kekuasaan yang direbut dengan dorongan syahwat harta, syahwat seksual dan syahwat politik kekuasaan serta fitnah yang keji. Semua bisa dimengerti walaupun semua harus direbut dengan mengalirkan darah dengan sarana yang dimiliki secara "grusa grusu" dan mental transaksional pragmatis.
Akhirnya terbukti keris Empu Gandring memakan korban dengan aliran darah dan amarah. Termasuk darah Ken Arok sendiri, keluarga dan keturunannya. Entah dimana keris Empu Gandring itu sekarang berada. Sebab terlalu miris membayangkan "keris empu gandring" yang berwatak jalan pintas, berada ditangan manusia yang terbelenggu nafsu seksual, harta, kuasa sekaligus.
Miris seandainya anak-anak bangsa ini terbunuh dan berdarah-darah dengan sia sia. Hanya untuk memuaskan dan memuluskan nafsu kuasa segelintir orang. Tapi semiris apapun, "tradisi" konflik bahkan sampai beberapa peristiwa mengalirkan darah seolah mewarnai pergantian kuasa paska Ken Arok diawali Kediri, Singasari, Majapahit, Demak, Pajang, Mataram sehingga "pisah"nya Surakarta dan Ngayogyakarta.
Saya tidak tahu apakah pergantian kuasa dari Bung Karno ke Pak Harto, yang diwarnai terbunuhnya para jenderal dan terbunuhnya ribuan rakyat tanpa proses pengadilan, merupakan tradisi harus ada "tumbal berdarah" dalam pergantian kekuasaan.
Miris apalagi kalau agama dan politik identitas dipakai sebagai pembungkus syahwat kuasa. Dipakai secara grusa grusu penuh fitnah layaknya keris Empu Gandring oleh Ken Arok. Sekarangpun ada "tanda tanda" beberapa pihak sudah menyiapkan keris Empu Gandringnya.
Mangga kita renungkan, agar kesempatan untuk memimpin Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang berdasar Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika dapat berjalan tertib untuk melaksanakan tujuan berbangsa bernegara yakni: Melindungi segenap bangsa, Memajukan kesejahteraan umum, Mencerdaskan kehidupan bangsa dan Menjaga ketertiban dunia. Bisa berjalan mulus, damai, semua rakyat bahagia.