Kota Jogja 7 Oktober 2021, merayakan
ulang tahunnya yang ke-265, tema yang diangkat pada tahun ini adalah Tanggap
Tanggon Tuwuh. Peresmian logo HUT sudah dilakukan secara daring di Ruang Bima
Balai Kota Yogyakarta, Jumat, 1 Oktober 2021. Lantas apa makna dari tema
Tanggap Tanggon Tuwuh ini?
Plt Asisten Administrasi Umum Kota
Yogyakarta Kris Sarjono mengatakan, Tanggap memiliki makna kecepatan, sekaligus
kecekatan, untuk beradaptasi, atau menyesuaikan diri dengan kondisi pandemi
Covid-19. Sehingga, kegagapan bisa dihindari. “Tanggap berarti kecepatan dalam
beradaptasi dengan situasi yang terus berkembang,” katanya dalam agenda
talkshow Pembukaan Pekan HUT ke-265 Kota Yogyakarta, di Pedestrian Jalan
Jenderal Sudirman, Jumat, 1 Oktober 2021 sore.
Tanggon adalah ketangguhan dalam
menghadapi situasi yang tidak menentu seperti dewasa ini. “Tanggon berarti
tangguh dan kokoh walau situasi tak menentu namun tetap kuat dan tidak
menyerah,” kata Ketua Panitia HUT ke-265 Kota Yogyakarta ini.
Sedangkan Tuwuh mengandung makna
tantangan, untuk senantiasa hidup dan terus berkembang. Selaras dan mengikuti
kondisi yang kini dihadapi. “Tuwuh berarti kemampuan untuk terus hidup dan
berkembang apapun kondisinya,” ungkapnya.
Wali Kota Yogyakarta Haryadi Suyuti
mengatakan, tema HUT kali ini Tanggap Tanggon Tuwuh. Tanggap berarti kecepatan
dalam beradaptasi dengan situasi yang terus berkembang, Tanggon berarti tangguh
dan kokoh walau situasi tak menentu namun tetap kuat dan tidak menyerah dan
Tuwuh berarti kemampuan untuk terus hidup dan berkembang apapun kondisinya.
Haryadi mengatakan, pemilihan tema ini
dilatarbelakangi oleh kondisi pandemi yang menuntut untuk wajib cepat
beradaptasi. Selain itu juga saling menguatkan satu sama lain, dan saling
gandeng-gendong dengan sikap optimistis bagi kemajuan Kota Yogyakarta.
Dia berharap seluruh warga Kota
Yogyakarta berpartisipasi aktif secara daring dalam memeriahkan HUT Ke-265 dan
menjadikannya sebagai pesta rakyat. “Walaupun di masa pandemi ini, kita
merayakannya dengan khidmat, dengan tenang di rumah masing-masing, untuk tetap
menjaga Protokol Kesehatan,” ujarnya
Sebenarnya tidak ada yang tahu pasti
kapan tanggal berapa berdirinya Jogja. Setelah dilakukan study sejarah oleh
beberapa ahli, diambil kesepakatan tanggal 7 Oktober sebagai hari ulang tahun
Jogja. Walikota Jogja pada saat itu, Bapak Herry Zudianto berusaha menggali
kembali sejarah berdirinya kota ini.
“Sebenarnya tidak ada yang tahu persis tanggal berdirinya Kota Jogja ini, tetapi berdasarkan sejarah dan masukan pada ahli akhirnya ditetapkan serta disepakati bersama bahwa tanggal 7 Oktober adalah HUT Kota ini,” tandas Herry dalam satu kesempatan.
Lalu, seperti apa sejarah berdirinya Yogyakarta dari awal mula? Yogyakarta didirikan pertama kali oleh Pangeran Mangkubumi. Beliau merupakan adik dari Sunan Paku Buwana II. Setelah melalui perjuangan yang panjang, pada hari Kamis Kliwon tanggal 29 Rabiulakhir 1680 atau bertepatan dengan 13 Februari 1755, Pangeran Mangkubumi yang telah bergelar Susuhunan Kabanaran menandatangani Perjanjian Giyanti atau sering disebut dengan Palihan Nagari .
Palihan Nagari inilah yang menjadi
titik awal keberadaan Kasultanan Yogyakarta. Pada saat itulah Susuhunan
Kabanaran kemudian bergelar Sri Sultan Hamengku Buwana Senopati Ing Ngalaga
Abdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping I. Setelah
Perjanjian Giyanti ini, Sri Sultan Hamengku Buwana mesanggrah di Ambarketawang
sambil menunggu pembangunan fisik kraton.
Sebulan setelah ditandatanganinya
Perjanjian Giyanti tepatnya hari Kamis Pon tanggal 29 Jumadilawal 1680 atau 13
Maret 1755, Sultan Hamengku Buwana I memproklamirkan berdirinya Kasultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat dengan ibukota Ngayogyakarta dan memiliki separuh
dari wilayah Kerajaan Mataram. Proklamasi ini terjadi di Pesanggrahan
Ambarketawang dan dikenal dengan peristiwa Hadeging Nagari Dalem Kasultanan
Mataram – Ngayogyakarta.
Pada hari Kamis Pon tanggal 3 sura
1681 atau bertepatan dengan tanggal 9 Oktober 1755, Sri Sultan Hamengku Buwana
I memerintahkan untuk membangun Kraton Ngayogyakarta di Desa Pacethokan dalam Hutan
Beringan yang pada awalnya bernama Garjitawati.
Pada hari Kamis pahing tanggal 13 Sura
1682 bertepatan dengan 7 Oktober 1756, Sri Sultan Hamengku Buwana I beserta
keluarganya pindah atau boyongan dari Pesanggrahan Ambarketawan masuk ke dalam
Kraton Ngayogyakarta. Peristiwa perpindahan ini ditandai dengan candra sengkala
memet Dwi Naga Rasa Tunggal berupa dua ekor naga yang kedua ekornya saling
melilit dan diukirkan di atas banon/renteng kelir baturana Kagungan Dalem Regol
Kemagangan dan Regol Gadhung Mlathi.
Momentum kepindahan inilah yang
dipakai sebagai dasar penentuan Hari Jadi Kota Yogyakarta karena mulai saat itu
berbagai macam sarana dan bangunan pendukung untuk mewadahi aktivitas
pemerintahan baik kegiatan sosial, politik, ekonomi, budaya maupun tempat
tinggal mulai dibangun secara bertahap. Berdasarkan itu semua maka Hari Jadi
Kota Yogyakarta ditentukan pada tanggal 7 Oktober 2009 dan dikuatkan dengan
Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 6 Tahun 2004.
Artikel diambil dari berbagai Sumber